Rabu, 16 September 2015

Belajar Taktik: Memahami Skema Build Up Serangan Dari Kiper


Membangun serangan dari belakang, yang bisa juga dengan melibatkan kiper, semakin sering diaplikasikan para pelatih akhir-akhir ini. Semakin seringnya cara ini dilakukan karena memang semakin banyak pula tim yang merasa penguasaan bola sangat penting sebagai basis permainan mereka.

Fase build up attack from the back menjadi salah satu unsur penting bagi tim yang ingin menguasai bola lebih lama daripada sang lawan. Target objektif memakai taktik ini adalah bagaimana caranya bola bisa sampai ke area tengah, tapi tanpa harus memberi kesempatan lawan untuk merebutnya.
Kebalikan dari cara ini yaitu dengan kiper melakukan tendangan gawang jauh langsung ke tengah. Tapi langsung mengirim bola ke jarak yang cukup jauh, tidak sesuai dengan semangat penguasaan bola, karena tentu saja bola menjadi tak bertuan, tergantung tim mana yang memenangi duel fifty-fifty di tengah nanti. Dari sini mulai dikembangkan skema khusus membangun serangan dari bawah, dengan harapan bola tetap di kaki tim sendiri begitu sampai tengah.
Bentuk skema build up from the back
Bentuk skema build up from the back
Skema yang dikhususkan untuk build up ini sudah cukup umum diaplikasikan di berbagai level di banyak negara dan bisa secara reguler kita saksikan di televisi. Skema ini berupa bentuk susunan posisi para pemain, yang secara khusus memang dirancang agar siap menghadapai lawan yang berniat melakukan high pressing dan menghalangi bola dengan nyaman bisa bergulir ke tengah.
Kita bisa melihat skema build up ini dimainkan oleh tim level atas, lewat berbagai macam media. Sama seperti tren pendekatan ball possession sendiri, atau tren pemakaian formasi tertentu yang dianggap paling efektif, skema khusus build up ini menyebar secara masif di seluruh dunia. Para pelatih dan pemain di tempat lain mencoba menduplikatnya dalam permainan di tim mereka sendiri.
Karena kita tidak di posisi trend setter, maka mengambil contoh tim yang lebih baik memang sudah sewajarnya. Tapi sama seperti ketika kita mengikuti tren formasi tiga pemain di tengah, ada baiknya selain meniru para tim kelas dunia tersebut, kita juga harus memahami apa yang kita contoh dengan sebenar-benarnya. Sekedar meniru jauh berbeda dengan mengerti, karena jika sesuatu berubah ke arah yang buruk, hanya yang mengerti yang nantinya akan mempunyai solusi.
Mengisi Semua Area Terluas Yang Bisa Didapat
Area terluas fase build up
Area terluas fase build up
Seperti yang terlihat di gambar, start posisi masing-masing pemain diharuskan mengisi semua area yang tersedia. Area yang tersedia dalam fase ini dimulai dari garis gawang sendiri, dua touchline atau garis pinggir lapangan, sampai offside line yang ditentukan oleh lawan.
Garis offside yang dipakai oleh lawan bisa berbeda-beda, tapi umumnya mereka mematok tidak terlalu jauh dari garis tengah, sesuai aturan offside yang memang dimulai di area sendiri. Alasan lawan dengan memakai garis offside setinggi ini karena apa yang mereka butuhkan memang berlawan dengan apa yang tim kita butuhkan. Jika kita menginginkan area yang lebih luas agar selalu ada ruang mengalirkan bola, lawan membutuhkan area yang lebih sempit agar mudah melakukan pressing.
Pressing memang jauh lebih mudah jika area yang ada lebih sempit, karena ditujukan agar akses ke pemain musuh akan lebih dekat. Alasan lain yang mendukung efektifitas pressing di area yang lebih sempit yaitu agar posisi antar pemain juga akan lebih dekat, jadi rekan bisa datang lebih cepat jika diharuskan mendekat untuk membantu melakukan pressing.
Bentuk skema build up dengan mengisi seluruh ruang yang tersedia dimaksudkan untuk menghindari situasi overload dari pressing lawan seperti dijelaskan di atas. Dengan memanfaatkan area terluas yang bisa dibentuk, diharapkan setiap pemain tidak berposisi terlalu dekat. Aturan agar posisi pemain tidak rapat di posisi awal juga berlaku untuk di area tengah. Jika lawan memutuskan memakai man marking, maka situasi 1 vs 1 adalah posisi tawar terbaik yang bisa kita dapatkan.
Apakah banyak situasi 1 vs 1 ini buruk? Kelihatannya demikian, setidaknya sebelum bola mengalir dan pressing lawan mulai bergerak. Pertimbangannya situasi akan jauh lebih menguntungkan bagi lawan jika situasi pemain kita menjadi 2 vs 2 atau 3 vs 3 karena posisi awal pemain kita yang rapat. Seperti yang dikatakan Johan Cruyff, membantu rekan ketika menerima pressing jangan dengan bergerak lebih mendekat, tapi justru harus bergerak menjauh, karena posisi berjauhan akan membantu mengurai pressing tersebut.
Kiper Sebagai Pemain Ekstra
Situasi yang memberi perbedaan antara fase ini dan fase menyerang yang lain adalah di fase build up kiper juga akan banyak berperan aktif. Lawan tidak akan melakukan man marking terhadap kiper kita. Sedangkan kiper lawan juga tidak bisa ikut naik membantu rekannya melakukan pressing. Jadi kiper kita akan menjadi pemain ekstra di fase ini.
Yang perlu dilakukan agar kiper juga berperan efektif yaitu dengan memberinya akses umpan ke pemain lain. Oleh karena itu bisa kita lihat kenapa dua bek tengah memisahkan diri dan mengawali samping kotak penalti yang berlawanan. Dengan bentuk ini, kiper bisa menjangkau dua bek tengah dengan umpan.
Kiper sebagai pemain ekstra dan membuat CB memberi kiper akses umpan.
Kiper sebagai pemain ekstra dan membuat CB memberi kiper akses umpan.
Ada dua pertimbangan kenapa kedua bek harus di posisi tersebut, padahal jika mereka di depan kotak penalti akan relatif lebih mudah dijangkau kiper. Yang pertama adalah untuk mengisi area seluas mungkin, seperti yang sebelumnya diuraikan di atas. Sedangkan yang kedua, semakin ke arah horizontal umpan kiper, semakin mudah juga bek kita untuk menguasainya, karena dia bisa dengan cepat menghadap ke depan ketika menerima bola.
Selain ke bek tengah, kiper juga disediakan akses umpan datar vertikal ke depan. Yang akan berperan di sini adalah gelandang bertahan yang ditempatkan di depan box. Ada tim yang memakai dua gelandang bertahan di posisi ini, tapi ada juga yang hanya memakai satu saja. Biasanya memang ditentukan formasi awal mereka, memakai double pivot dalam 4-2-3-1 atau single pivot dalam 4-3-3, walaupun terkadang formasi tersebut tidak mengikat.
Pendapat akan berbeda-beda mana yang lebih baik, antara memakai satu atau dua pemain di depan box. Tapi jika menakar resiko dan efektifitas, satu pemain akan lebih baik. Dalam situasi menerima tekanan, dua gelandang dalam posisi sejajar akan sangat beresiko jika saling mengumpan, karena hanya tersisa kiper di belakang mereka. Hanya memakai satu gelandang yang bisa melakukan back pass ke kiper justru merupakan opsi paling aman.
Dua Fullback Sebagai Vertical Point
Fullback sebagai vertical point
Fullback sebagai vertical point
Seperti yang bisa dilihat di gambar, posisi awal dua fullback adalah sangat melebar menyentuh touchline dan berada dalam jarak yang tidak terlalu dekat dengan rekan bek tengahnya. Alasan pemilihan posisi awal untuk fullback ini berasal dari berbagai macam pertimbangan karena memang fungsi mereka sangat vital di fase ini.
Karena setiap pemain tidak boleh berdekatan dan dua bek tengah sudah mengambil posisi di sebelah box, maka fullback harus memposisikan diri agak jauh dan di depan rekan bek tengahnya tersebut. Jarak diantara mereka juga tidak boleh terlalu jauh, karena bek tengah juga masih berkepentingan memiliki akses umpan ke para fullback.
Akses umpan dari bek tengah ke fullback, atau dari siapapun pemain lain yang berposisi di belakang fullback, menjadi umpan yang sangat vital. Di berbagai strategi ball possession, umpan yang bisa lebih mendorong bola ke depan, tapi dengan resiko minimal untuk kehilangan bola, merupakan umpan yang sangat berharga. Situasi seperti ini akan selalu memaksa pressing lawan untuk mengikutinya dan secara tidak langsung akan ikut bergerak turun.
Di dalam prinsip bertahan, pemain akan sangat agresif melakukan pressing turun jika posisi bola terjangkau, karena dia tahu itu akan memperkokoh keseluruhan pertahanan tim. Tapi sebaliknya, jika diharuskan bergerak melakukan pressing naik, dia akan berpikir dua kali, atau setidaknya agresifitas akan rendah. Hal ini disebabkan dia harus bergerak dengan posisi membelakangi gawangnya sendiri, sekaligus membelakangi bentuk pertahanan timnya.
Bergerak naik harus dipikir masak-masak oleh pemain karena dia juga harus tahu terlebih dahulu apakah dia akan meninggalkan lubang atau tidak, serta rekan di belakangnya akan memberi dukungan atau tidak. Tapi nyatanya tidak semua pemain akan seperti itu, karena banyak juga yang justru semberono meninggalkan posnya dengan melakukan pressing naik cepat, yang sayangnya seringkali dilakukan sendirian. Tentu pertahanan tim yang memiliki pemain seperti ini akan jauh lebih rapuh.
Fullback untuk menurunkan pressure block lawan
Fullback untuk menurunkan pressure block lawan
Fullback untuk menurunkan pressure block lawan
Fullback untuk menurunkan pressure block lawan
Berangkat dari logika tersebut, bola yang bisa bergerak naik dari area sekitar box ke posisi fullback akan berarti penting. Ketika bola bergerak ke posisi itu, pressing lawan juga akan mengikuti dan otomatis bergerak turun. Dan jika fullback mengembalikan bola ke belakang lagi, pressing lawan mungkin akan naik lagi, tapi mungkin juga tidak. Jika pun pressing lawan akan tetap mengikuti, kecepatannya akan lebih lambat dan memberi waktu dan ruang yang cukup aman buat pemain di sekitar box untuk memindah bola.
Dua Winger Sebagai Penahan Defensive Line
Pemain yang akan berada di depan fullback adalah pemain sayap. Ada beberapa variasi yang bisa dilakukan oleh winger. Ada pelatih yang memakai mereka untuk mendukung fase build up dengan ikut turun dan terkadang berotasi dengan fullback. Aksi ini dimaksudkan agar winger menjadi pemain ekstra yang tidak terjaga apabila bek lawan yang mengawalnya enggan keluar posisi. Ada juga variasi yang membuat winger statis di posisinya, dengan tetap melebar dan mengintip peluang bola diumpan ke belakang bek lawan.
Variasi winger yang berotasi
Variasi winger yang berotasi
Jika dipertimbangkan dengan cermat, dengan membuat winger ikut turun lebih banyak membawa kerugian daripada keuntungan. Winger bergerak turun berarti dia mendekat ke posisi fullback. Aksi tersebut di proses awalnya akan mengajak satu pemain lawan, yang di momen itu bertugas menjaga winger, juga ikut mendekat dan memperkeruh area itu. Di situasi ini, ide untuk menjaga setiap pemain tetap berjauhan dan menjaga area tetap seluas mungkin akan dilanggar.
Area jadi sempit ketika winger turun
Area jadi sempit ketika winger turun
Akan lebih efektif jika winger statis di dekat garis offside lawan. Hal ini akan membuat area kerja fullback tetap longgar karena winger menahan pemain yang menjaganya agar tetap di tempatnya. Selain itu, akses untuk memangsa umpan-umpan yang ditujukan di belakang offside line musuh sangat lah berharga untuk diabaikan. Di artikel kedua Mengatur Tempo dijelaskan kenapa area yang di belakang high defensive line sangat potensial untuk mengawali gol.
Jika winger mempunyai kecepatan yang bagus, secara psikologis juga akan mengganggu disiplin bek lawan untuk menjaga offside trap mereka. Backline lawan dipaksa harus membagi konsentrasi antara menjaga garis offside agar tetap rapi, sekaligus tidak ketinggalan jika ternyata sang winger lolos. Jebakan offside yang dieksekusi dengan ragu-ragu akan mudah sekali turun. Kondisi ini nantinya akan menguntungkan bagi tim penyerang, karena area akan jadi lebih luas jika offside line akhirnya benar-benar turun.
Winger sebagai ancaman offside trap lawan
Winger sebagai ancaman offside trap lawan
Winger sebagai opsi umpan dengan bergerak ke keridor yang berbeda dengan fullback
Winger sebagai opsi umpan dengan bergerak ke keridor yang berbeda dengan fullback
Winger yang tidak turun juga bukan berarti tidak akan bisa membantu rekan fullback di bawahnya. Karena fullback akan sangat melebar di touchline, winger bisa bergerak lebih ke dalam, berada di koridor yang berbeda dengan fullback, sehingga winger tetap bisa menjadi opsi umpan. Walaupun ini adalah umpan vertikal, tapi resiko kehilangan bola yang lantas membahayakan cukup kecil, karena posisi bola yang sudah jauh dari gawang sendiri.
Pemain di barisan depan yang sebenarnya bisa turun tanpa membonceng serta pemain lawan untuk mengikutinya, justru adalah penyerang tengah. Hal ini sama dengan prinsip false 9, yang coba mengambil keuntungan dari bek tengah lawan yang tidak akan berani berpindah posisi terlalu jauh, karena akan menimbulkan masalah kompaksi di backline.
Kondisi ini bisa terjadi dengan syarat jika dua winger tetap bisa memaksa dua fullback lawan yang menjaganya ikut jauh melebar. Lawan akan berpikir dua kali sebelum berani mengambil resiko dengan satu bek tengahnya keluar posisi mengawal striker yang turun. Menyisakan satu bek yang menutup jarak dua fullback yang berjauhan tentu sangat tidak ideal, apalagi dengan adanya dua winger yang tetap meneror di garis offside.
Gelandang Sebagai Jembatan Aliran Bola
Pada umumnya skema ini akan dieksekusi dengan memakai tiga gelandang, baik itu dengan variasi memakai satu pivot atau dua pivot. Selain variasi jumlah pivot, cara ketiga gelandang ini bekerja juga bisa berbeda-beda, yang tergantung pemahaman sang pelatih. Ada pelatih yang memakai gelandangnya cukup intensif, ada juga yang tidak.
Seperti apa yang bisa kita lihat dari praktik yang dilakukan oleh Timnas U19 ketika masih dipegang Indra Sjafri dulu. Dalam fase build up ini, tiga pemain tengah terlibat sangat aktif dalam mengalirkan bola. Tentu kita masih ingat bagaimana Evan Dimas, Hargianto dan Zulfiandi saling terhubung dengan umpan untuk bisa keluar dari tekanan lawan di semua fase, termasuk juga fase build up ini.
Tapi jika kita telaah lebih lanjut dengan melihat dari desain awal bentuk skema ini, sebenarnya eksekusinya tidak mengharapkan para gelandang untuk terlalu aktif terlibat. Memang gelandang adalah motor dari filosofi sepakbola dengan penguasaan bola. Tapi khusus di fase build up, yang lawan umumnya akan melakukan high pressing, gelandang yang terlalu banyak terlibat akan memberi banyak sekali resiko jika sampai tim harus kehilangan bola di area tengah.
Delapan pemain area luar dan tiga gelandang di tengah sebagai pivot
Delapan pemain area luar dan tiga gelandang di tengah sebagai pivot
Di fase build up ini, tiga pemain tengah dan delapan pemain lain bisa kita pisahkan dengan melihat ada delapan pemain yang berdiri melingkar di area separuh lapangan dan tiga pemain di tengah sebagai pivot. Secara desain memang fase ini sangat mirip dengan latihan rondo, atau yang lebih dikenal di sini sebagai 4-2, yang divariasi dengan memakai tiga pivot di area tengah. Khusus di sisi paling depan, akan ada perlakuan khusus karena ada empat pemain lawan yang berada di sana.
Karena di dalam lingkaran raksasa ini nanti bisa berisi enam sampai tujuh pemain lawan, maka cara bermain sebagai gelandang di fase ini juga berbeda. Ketiga gelandang ini tidak harus saling terhubung satu sama lain dengan umpan, karena resiko kehilangan bola di tengah sangat besar sekali. Tugas utama mereka justru sebagai pemantul bola dari pemain di area luar ke pemain di area luar yang lain, agar bola bisa terus mengalir berpindah area dan keluar dari pressing.
Posisi yang sangat rawan, memaksa tiga gelandang ini tidak boleh dibebani tugas yang terlalu rumit. Tapi untungnya desain skema build up ini sangat membantu tugas sulit mereka. Dengan delapan pemain di sisi luar, kita bisa memastikan setiap sudut 90 derajat, para pemain di tengah bisa melihat tiga rekannya yang berada di area luar. Karena area tengah nanti akan cenderung penuh, berbelok 90 derajat dengan bola seharusnya sudah paling maksimal yang bisa dikategorikan aman.
Tiga opsi umpan dari tengah di setiap sudut 90 derajat
Tiga opsi umpan dari tengah di setiap sudut 90 derajat
Dengan logika tersebut, jika gelandang menerima bola dari salah satu rekan di sisi luar, akan ada dua rekan lain yang bisa digunakan sebagai opsi umpan, tanpa dia harus memutar badan lebih dari 90 derajat. Walau pun pressing lawan cukup ketat, akan sangat langka sekali jika dua rekan tersisa sama-sama tertutup oleh lawan, terutama rekan yang lebih di belakang, karena memang desain awal skema ini mewajibkan posisi setiap pemain tidak boleh terlalu rapat.
Dengan tidak diwajibkan saling terhubung, tiga gelandang ini tidak perlu terlalu lama dengan bola, karena memang mereka tidak harus merubah arah terlalu drastis. Tinggal bagaimana caranya mereka tetap bisa meninggalkan pemain lawan yang sedang menjaganya agar tetap di belakang punggungnya ketika dia menerima bola.
Kecepatan Mengambil Posisi
Salah satu kunci sukses paling penting dalam fase ini, yang juga sering tidak disadari adalah kecepatan pemain untuk mengambil posisi masing-masing seperti di atas. Lebih cepat para pemain berada di posisinya, lebih cepat pula kiper akan melepaskan umpan pertama sehingga bola bisa mengalir, sekaligus juga akan membuat pressing lawan bergerak.
Terkadang bisa dilihat ada tim yang merencanakan memakai strategi ini, tapi pemainnya sangat lambat ketika harus mengambil posisi masing-masing. Karena mereka lambat, lawan jadi memiliki waktu untuk melakukan marking terhadap tiga pemain yang paling dekat dengan kiper, yaitu dua bek tengah di sisi box dan gelandang bertahan di depan box.
Jika para pemain terdekat ini sudah terjaga, maka kiper tidak akan memiliki kesempatan melakukan tendangan gawang pendek dan terpaksa akan membatalkan rencana build up dari bawah. Kecepatan mengambil posisi ini memang terlihat sepele, tapi memastikan kiper bisa memiliki minimal satu opsi umpan pendek adalah syarat mutlak terlaksananya strategi ini.
Melihat Posisi Pemain Yang Bebas
Syarat lain yang harus dipenuhi agar fase ini berhasil adalah dengan selalu memiliki pemain yang sedang bebas sebagai opsi umpan. Berapa pemain kita yang bebas, tergantung dari berapa banyak pemain lawan yang berada di area kita dan bagaimana mereka mengeksekusi fase pressingnya.
Tapi kita juga bisa mempengaruhi keputusan lawan agar tidak terlalu banyak memasukkan pemain ke area kita. Seperti inisiatif dengan membuat dua winger statis berada di offside line. Jika lawan cukup berhati-hati, setidaknya akan ada empat pemain lawan yang tetap di barisan belakang. Jika mereka mau mengambil resiko, bisa hanya ada tiga pemain yang tidak akan naik.
Apabila lawan memakai empat pemain di belakang, maka hanya enam yang akan melakukan high pressing. Sedangkan tim kita akan memiliki tujuh pemain di fase build up jika memutuskan membuat tiga penyerang tetap statis di depan untuk menahan backline lawan. Kiper akan tetap menjadi pemain ekstra di fase ini, sehingga akan ada situasi 8 vs 6 di area sendiri.
Tim kita akan memiliki dua pemain lebih banyak ketika melakukan fase build up, situasi yang sebenarnya tidak terlalu buruk. Namun keunggulan jumlah pemain ini tetap akan tergantung seberapa bagus skema pressing lawan. Jika lawan banyak memakai man marking, mungkin kita bisa akan melihat dengan jelas dimana saja posisi pemain kita yang bebas.
Man marking di tengah dan 2 CB sebagai freeman
Man marking di tengah dan 2 CB sebagai freeman
Tapi cerita akan berbeda jika lawan cukup cerdik dengan lebih fokus untuk menutup passing lane daripada melakukan man marking. Cara ini akan mempermudah pressing block lawan melakukan transisi horizontal dan menihilkan situasi kalah jumlah pemain jika bola berada di flank. Umumnya pendekatan ini memang diawali dengan pressing block menyempit ke tengah, yang ditujukan untuk memancing agar bola dialirkan ke flank, baru setelah itu pressing dilakukan.
Di situasi ini inferioritas jumlah pemain lawan mulai terlihat samar dan akan dibutuhkan sedikit keberanian dari pemain kita untuk mulai mengalirkan bola. Tapi yang harus tetap diingat, keunggulan jumlah pemain masih ada di pihak penyerang, walaupun dalam beberapa detik akan tidak kelihatan. Asalkan setiap pemain memahami tugas masing-masing seperti yang diuraikan di atas, superioritas jumlah pemain akan tampak lagi beberapa detik kemudian.
Lawan memakai cara menutup passing lane daripada man marking
Lawan memakai cara menutup passing lane daripada man marking
Poin pertama yang harus dipenuhi yaitu pemain di sisi luar area permainan tetap disiplin di posisinya, jangan sampai terpancing untuk bergerak saling mendekat. Sedangkan poin kedua juga harus terlaksana, yaitu gelandang tengah bergerak ke arah sebagai opsi umpan dan untuk menghubungkan para pemain di posisi terluar.
Trust the design and move the ball
Trust the design and move the ball
Dengan memastikan semua pemain melakukan tugasnya dengan baik, bola akan bisa terus mengalir dan dengan sendirinya pressing lawan akan berangsur-angsur turun. Turunnya pressing block lawan ini akan terjadi secara natural, setidaknya sesuai apa yang dipercaya Pep Guardiola dengan aturan melakukan 15 umpan sedari fase build up yang akan membuat pressing lawan benar-benar menyerah dan memutuskan untuk turun.

Mengontrol Tempo: Memakai Kecepatan Untuk Tampil Dominan


Memainkan sepakbola tempo cepat, yang tidak bisa diikuti lawan yang lambat akan mengantarkan kemenangan. Tapi jika lawan justru bisa memperlambat tempo yang tersaji di lapangan, maka kemenangan bukan hal yang mustahil bagi sang lawan.


Setiap tim mempunyai ritme permainan sendiri sebagai ciri khas masing-masing. Ritme ini merupakan hasil penyatuan karakter dan level skill setiap pemain yang ada di dalam tim. Ada ritme yang merupakan hasil racikan pelatih, tapi ada juga yang memang terbentuk secara alamiah antar pemain. Beberapa pelatih justru percaya pondasi terbaik adalah dengan membiarkan ritme terbentuk secara natural terlebih dahulu sebelum dia menajamkannya.

Ritme yang dihasilkan oleh setiap tim berasal dari perpaduan antara gaya setiap pemain yang memang unik, dengan sistem permainan yang diharapkan. Contohnya seperti dimana pemain tengah biasa memilih posisi, kearah mana kebiasaan para pemain depan bergerak, atau secepat apa pemain yang tanpa bola berlari. Hal-hal tersebut menentukan kemana biasanya arah serangan dan seberapa cepat umpan-umpan yang akan dilepaskan.

Keserasian posisi, pergerakan dan kecepatan umpan setiap personel inilah yang akan membuat bola akan bisa tetap bisa dikuasai dan serangan akhirnya bisa disusun dengan rapi. Dari sini nanti akan diketahui kecepatan konstan dari ritme yang mampu dimainkan oleh tim tersebut.

Benturan Dua Ritme

Tapi pekerjaan setiap tim tidak hanya berhenti disitu karena sepakbola memang dimainkan oleh dua kubu. Masing-masing kesebelasan mengusung ritmenya sendiri. Tapi bagaimana pun tetap  hanya ada satu bola di lapangan. Mau tidak mau, tempo pertandingan akan mengikuti keinginan salah satu tim.

Beruntung bagi pihak yang akhirnya berhasil memaksakan tempo berjalan sesuai yang dipakai timnya. Keserasian permainan timnya bisa terwujud karena game memang sedang dimainkan di tempo yang biasa mereka mainkan. Bola akan mengalir lancar dari kaki ke kaki, sampai akhirnya diharapkan menembus jala gawang lawan. Kecepatan bola berpindah sudah dipahami benar oleh para pemain dan mereka tidak perlu banyak melakukan penyesuaian kecepatan lari atau pun merubah penempatan posisi.

Sebaliknya, bagi tim yang harus bermain di tempo lawan, mereka akan mengalami masalah serius. Mereka akan terancam lebih sering tanpa bola karena harus melakukan proses adaptasi lagi dengan situasi yang ada. Jika perbedaan tempo terlalu signifikan, maka akan lebih sukar buat mereka membalikkan situasi.

Bermain di tempo lawan tidak pernah menyenangkan karena semua pemain harus menyesuaikan lagi cara mereka bermain. Kecepatan umpan dan kecepatan lari dipaksa tidak sama lagi dengan yang biasa mereka gunakan. Hal ini yang sering memicu bola terlepas karena akurasi umpan yang jadi menurun, yang disebabkan ritme sendiri yang berusaha mereka susun, terus tertekan oleh tempo lawan.

Contoh paling mudah ditemui dari situasi ini bisa dilihat dari bagaimana jika Timnas Indonesia bertemu lawan dari luar Asia Tenggara. Akurasi umpan pemain jauh menurun daripada ketika mereka bertemu lawan satu level atau ketika mereka bermain di klub masing-masing di liga. Tempo yang lebih cepat yang dibawa oleh lawan tidak bisa diikuti oleh organisasi permainan Timnas, yang memang tidak terbiasa bermain cepat, yang akhirnya membuat situasi menjadi serba salah dan langsung mengirim umpan jauh ke depan menjadi pilihan paling mudah.

Siapa Yang Akhirnya Akan Menguasai Tempo?

Tim yang bisa lebih banyak menguasai bola akan lebih mudah menguasai tempo, dan bermain di tempo yang dimiliki akan lebih melanggengkan penguasaan bola itu sendiri. Hukum timbal balik ini yang akhirnya dieksploitasi habis oleh Pep Guardiola. Dia membuat timnya terus menguasai bola sangat lama, yang bisa dikatakan dalam takaran intimidatif, yang juga sekaligus akan membuat lawan kesulitan menyusun ritmenya sendiri dan terpaksa harus bermain buruk.

Berangkat dari logika ini, membangun pondasi permainan memakai basis penguasaan bola menjadi pilihan banyak pelatih. Jika anak asuhannya berhasil lebih banyak menguasai bola, mereka akan bermain lebih baik, lebih maksimal, karena memang tim akan merasa lebih nyaman daripada lawan. Perasaan nyaman ini muncul karena pemain bisa bermain di dalam game milik sendiri, efek dari kontrol tempo yang sedang berada dalam genggaman.

Dari sini ball possession mulai menjadi acuan apakah permainan sebuah tim dianggap sudah baik atau belum. Banyak pelatih mulai menimang-nimang bagaimana agar bisa melakukan overload, menumpuk lebih banyak pemain di lini tengah, agar bola lebih lama dikuasai. Apalagi kesempatan untuk menang memang lebih besar dengan cara ini.

Tapi sayangnya tidak semudah itu untuk bisa unggul ball possesion. Bagaimana jika sang lawan ternyata juga mengincar penguasaan bola? Apa yang terjadi jika jumlah pemain lebih di lini tengah gagal didapat karena lawan juga melakukan hal yang sama?

Formasi umum yang sekarang banyak dipakai untuk mendapatkan penguasaan bola adalah 4-3-3 atau 4-2-3-1. Skema tiga gelandang awalnya dirasa bisa menaklukkan para pengguna skema dua gelandang. Tapi ketika hampir semua pelatih memakai tiga pemain di tengah, situasi overload bisa gagal didapat dan unggul penguasaan bola tidak lagi menjadi jaminan.

Ide baru mulai mengapung dari para pelatih level elit. Pep Guardiola menyematkan variasi false 9 dalam formasi 4-3-3 miliknya, sehingga bisa mempunyai empat pemain di tengah. Skema 4-4-2 diamond juga bisa jadi pilihan lain karena secara natural sudah memiliki empat pemain di tengah. Carlo Ancelotti pernah lebih ekstrim lagi dengan formasi pohon natal 4-3-2-1 yang menumpuk lima gelandang sekaligus.

Tapi ide di atas hanya sekedar menjadi mimpi bagi banyak tim karena cukup sulit dieksekusi agar bisa dipraktekkan. Peran false 9 ternyata sulit sekali diperankan pemain tanpa kelengkapan skillset dan kecerdasan seperti yang dimiliki Lionel Messi. Sedangkan kesulitan di dua ide lainnya yaitu tidak memakai dua pemain sayap, skema yang jarang sekali diajarkan di level akademi, yang membuat problem justru lebih kompleks bagi banyak tim.

Lebih Cepat Lebih Baik

Namun situasi jumlah pemain yang sama di tengah bukan berarti akan selalu memberikan keseimbangan ball possession bagi kedua kesebelasan. Fakta yang ada menunjukkan jarang sekali dua tim berbagi penguasaan bola di sekitar angka 50% walaupun skor akhir imbang tanpa gol. Ada faktor lain yang bisa menentukan keunggulan ball possession selain superioritas jumlah pemain di lini tengah.

Jawabannya kembali kepada ritme permainan. Tim yang bisa memainkan ritme dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sang lawan, maka mereka akan memenangi duel di lini tengah. Semakin cepat bola bisa dialirkan, semakin sulit juga lawan merebutnya, walaupun jumlah pemain di tengah sama. Sebaliknya bagi tim yang memainkan tempo lebih lambat, maka bola akan lebih cepat terlepas karena lawan lebih mudah melakukan pressing.

Jika persepsi umum yang ada sekarang lebih menyimpulkan tim yang bermain direct football atau counter attack adalah tim yang membawa tempo cepat, maka pengertian tempo cepat di artikel ini lebih kaya dari persepsi itu. Acuan yang dipakai di artikel ini, kecepatan tidak hanya dilihat dari bola yang bergerak ke arah vertikal, tapi juga bola yang ke arah horizontal ataupun diagonal. Jadi bukan hanya dengan mengirimkan umpan jauh ke depan saja yang akan membuat tempo menjadi cepat.

Seperti contoh bagaimana Real Madrid yang dilatih Ancelotti bermain. Selain counter attack sebagai ciri khas, mereka juga bisa menghubungkan dua flank dengan sangat baik ketika dalam fase penguasaan bola. Hanya dengan dua kali umpan datar saja, Madrid bisa menghubungkan kedua flank dengan aliran bola yang sangat cepat. Disini bisa dilihat jika tempo cepat yang mereka hasilkan justru berasal dari umpan horizontal, bukan dari umpan vertikal.

Contoh lain bisa diperhatikan di kecepatan aliran bola di skema ball possession Barcelona atau Bayern Munchen. Jika tidak ada tekanan dari lawan, memang tempo akan melambat. Tapi jika lawan coba merebut bola, kecepatan umpan dari tiap sudut pemain di bentuk triangle yang disusun akan seketika meningkat dan menjadi sangat cepat dengan satu atau dua sentuhan. Kecepatan aliran bola akan  diusahakan terus di atas kecepatan pemain lawan yang melakukan pressing.

Apa yang dilakukan klub-klub di atas memang memiliki perbedaan mindset tentang arah serangan dan arah aliran bola. Madrid lebih suka bermain ke arah horizontal memanfaatkan lebar lapangan. Sedangkan Barcelona dan Munchen  menggunakan arah diagonal, yang bola akan cenderung akan bergerak memutar dalam triangle di area yang kecil. Tapi satu kesamaan dari ketiganya yaitu mereka memakai faktor kecepatan umpan sebagai cara untuk menjaga bola tetap tidak terjangkau oleh lawan.

Mungkin banyak dari kita akan sulit melihat mereka bermain dalam tempo tinggi karena memang level posisi bola tidak terlihat bergerak naik secara vertikal. Tapi yang banyak tidak disadari, kecepatan umpan mereka jauh lebih cepat daripada yang biasa dipraktekkan tim lain. Inilah letak perbedaan yang membuat mereka akan tetap tampil dominan di Liga Champions, walaupun jika mereka harus bertemu tim raja ball possession dari liga negara lain.

Tempo Cepat Menihilkan Jumlah

Jika penjelasan di atas masih terbatas kepada tempo cepat yang membantu memenangi ball possession dengan jumlah pemain tengah sama, bagaimana jika lawan memutuskan menumpuk lebih banyak pemain di tengah dan melebihi jumlah pemain tim kita?

Sukses melakukan overload di suatu area tertentu sekarang menjadi cara yang diandalkan banyak pelatih untuk memenangi duel. Tapi sayangnya overload bukan solusi yang akan selalu berhasil di level tertentu, terutama jika lawan mampu bermain dengan aliran bola lebih cepat daripada milik mereka. Tim yang menguasai tempo lebih cepat masih bisa memenangi duel ini.

Contoh dari situasi ini bisa dilihat ketika Timnas U19 asuhan Indra Sjafri harus meladeni beberapa tim U21 dalam tur nusantara. Beberapa tim berusaha melakukan inisiatif menumpuk pemain lebih banyak di tengah untuk membendung trio Evan Dimas, Hargianto dan Paolo Sitanggang. Situasi yang terbentuk bisa sampai terjadi duel 3 vs 5 di area sentral. Tapi tidak ada satupun yang akhirnya bisa dominan karena trio tengah Timnas tetap bisa memutar bola lebih cepat dari mereka.

Hal yang sama juga terjadi kepada Timnas U23 yang disingkirkan Korea Utara di Asian Games 2014. Walaupun tim Aji Santoso memakai formasi 4-2-3-1, yang memakai tiga gelandang, mereka tetap kalah ball possession dari Korut yang hanya memakai dua gelandang tengah dalam formasi 4-4-2. Korut membuat tempo menjadi sangat cepat dari hampir semua faktor, baik itu passing maupun pressing. Garuda muda seakan sulit menyentuh para pemain lawan walaupun hanya sekedar untuk menjatuhkannya, karena memang kalah cepat. Akhirnya Timnas harus rela tersingkir dengan skor 1-4.

Banyak contoh lain yang bisa diangkat untuk menggambarkan situasi bahwa kecepatan bisa mengalahkan jumlah pemain lebih lawan, terutama ketika dua tim yang berbeda level bertemu. Hal ini dimungkinkan karena memang lapangan terlalu luas kalau hanya dihuni oleh 22 pemain. Apalagi efek samping overload juga akan membuka lubang di area lain. Masih banyaknya area kosong inilah yang menjadi jaminan bahwa tim yang lebih terampil dengan tempo cepat masih akan bisa leluasa menguasai laga.

Yang perlu ditekankan disini, overload bukan berarti tidak akan bisa membawa peranan positif. Seperti yang disebut di atas, kecepatan baru bisa dengan mudah menihilkan tim yang berusaha menumpuk pemain di tengah jika memang level kedua tim terpaut signifikan. Jika kualitas kedua kubu tidak terpaut jauh, taktik overload yang efektif akan tetap bisa mengangkat performa tim tersebut.

Tapi apakah tim yang memiliki level yang lebih rendah dan kualitas skill pemain yang kurang memadai tidak akan pernah bisa mengalahkan lawan yang dua atau tiga tingkat lebih baik? Berita baiknya adalah bisa. Pembahasan masalah ini akan coba dijabarkan di artikel kedua untuk topik Mengontrol Tempo.

Tempo Cepat Hasil Dari Skill Atau Justru Sebaliknya?

Tim yang bisa memainkan tempo cepat sebagian besar bisa juga bermain tempo lambat. Sedangkan tim yang bisa bermain tempo lambat, belum tentu mampu jika diharuskan bermain tempo cepat. Dari sini bisa disimpulkan jika tempo yang lebih cepat bisa dimainkan oleh tim yang mempunyai pemain dengan skill yang lebih baik.

Tim akan membutuhkan pemain-pemain yang mampu melepas umpan lebih cepat dan dengan jarak yang relatif lebih jauh namun dengan akurasi yang prima. Pemain juga diwajibkan mampu mengontrol umpan yang datang dengan lebih baik karena bola akan bergulir datang lebih deras. Kecepatan lari juga dibutuhkan untuk mencari posisi yang bagus dan akan terus beradu cepat dengan aliran bola yang diumpan.

Jadi memang dibutuhkan stok pemain dengan skill mumpuni agar bisa memainkan sepakbola tempo cepat. Tapi ini bukan berarti tim yang hanya memiliki pemain dengan kemampuan terbatas tidak akan pernah bisa meningkatkan kecepatan ritme permainan mereka.

Direktur akademi Feyenoord, Stanley Brard, seperti yang ditulis di artikel Kickoff Indonesia, mengungkapkan jika kecepatan adalah kunci untuk mengembangkan pemain yang siap bermain di level atas. Oleh karena itu salah satu visi mereka yaitu dengan mengembangkan pemain berbasiskan pada cepat berpikir, cepat bergerak dan cepat passing demi mendapatkan permainan tempo tinggi.

Pemain dengan skill yang bagus tidak akan bisa didapatkan di tempat yang tidak mengajak mereka bermain cepat, atau yang hanya terbiasa memainkan sepakbola dengan tempo rendah. Hanya dengan sesi latihan, small game atau pertandingan yang selalu memakai aliran bola yang cepat yang akan mengajak pemain ikut berkembang. Dari sini skill pemain akan ikut tumbuh dan membuat mereka akan bisa bermain dengan kecepatan bola yang lebih baik.

Jadi tempo cepat yang akan membentuk skill pemainnya sendiri, bukan justru menunggu pemain mempunyai skill cukup baru tim bisa bermain tempo cepat. Jika pelatih berpikir secara terbalik, maka timnya tidak akan bisa bermain dengan tempo lebih cepat, karena memang skill pemainnya tidak akan meningkat jika terus bermain dalam tempo lambat.

Meningkatkan kecepatan aliran bola sekarang harus berada di daftar kebutuhan nomer satu, terutama bagi tim yang merasa level mereka masih di bawah para rival. Hal ini juga termasuk Timnas dan semua klub di Indonesia, yang secara level permainan masih entah berapa ratus tingkat dari level tim elit dunia. Mulai dari akademi dan SSB, mindset tentang kecepatan aliran bola juga sudah harus menjadi prioritas.

Tapi satu yang harus tetap diingat, yang dimaksud dengan bermain tempo cepat bukan selalu dengan melakukan long pass langsung ke depan.


Sumber:
http://www.dribble9.com/mengontrol-tempo-memakai-kecepatan-untuk-tampil-dominan/

Belajar Melihat Sepakbola dari Segi Taktik


“Menjadi penggila tontonan sepakbola itu alami, tetapi menjadi penonton sepakbola yang cerdas itu pilihan!”
Makin banyak Anda belajar soal taktik sepakbola, menonton sepakbola menjadi kegiatan yang memberi sensasi berbeda.Sebelumnya tontonan sepakbola sajikan drama mengobok emosi lewat aksi-aksi brilian dan momentum krusial.Seperti aksi Messi melewati beberapa bek lawan atau gol spektakuler James Rodrigues ke gawang Uruguay di Brasil 2014.
Kini dengan wawasan taktik sepakbola, bukan “APA” aksi yang terjadi yang penting, tetapi “BAGAIMANA” dan “MENGAPA” suatu aksi bisa terjadi yang lebih penting. Awalnya sensasi menonton sepakbola baru ini amat mengganggu.Tidak ada pekik dan umpatan.Semua terganti dengan “dansa otak” yang terus bertanya “BAGAIMANA” dan “MENGAPA”.Bahkan makin mengganggu saat menonton klub favorit yang secara “taktikal” di bulan-bulani rivalnya.
Meski demikian, ketidaknyamanan dalam menonton bola dengan kacamata “taktik” hanyalah awalan saja.Sekali klik, pertandingan sepakbola menjadi lebih menarik 2000 kali lipat. Perang adu taktik antar kedua tim dengan berusaha menonjolkan kelebihan pemainnya, serta sembunyikan kekurangannya amat spektakuler. Belum lagi taktik tersebut dapat terus berubah sepanjang 90 menit. Yes, sepakbola adalah permainan super dinamis!
Untuk mulai merasakan sensasi tersebut, mari belajar nonton sepakbola dengan kacamata “taktik”. Bagi para pemula, disarankan untuk menonton pertandingan yang tidak melibatkan klub favorit secara LIVE. Ikatan emosional akan mengacaukan ketepatan analisa saat menonton. Ada baiknya tonton pertandingan tersebut secara tunda, sehingga skor sudah diketahui dan luapan emosi telah menguap.

Natural Overload
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperhatikan formasi bermain kedua tim. Satu hal yang pasti hanyalah 1 penjaga gawang. Sedangkan lini belakang, tengah dan depan tentu bervariasi. Infografis yang disajikan televisi bisa dijadikan patokan awal untuk mencatat nomor punggung.Hanya sebaiknya info TV tersebut dicek ulang saat pertandingan telah berlangsung.Tidak selalu infografis yang tersaji akurat.
Peluit berbunyi, aktivitas mencocokkan formasi dan no punggung adalah keasyikan perdana.Katakanlah diambil contoh pertandingan Semifinal Piala Dunia 2014 antara Brasil vs Jerman yang berakhir dramatis 1-7.Formasi Brasil yang statis mudah dicocokkan.Scolari memakai formasi 1-4-2-3-1.Sedang Jerman lebih dinamis.1 kiper dan 4 bek adalah kepastian, tetapi jumlah gelandang dan striker perlu ditelaah lebih teliti.Beberapa saat berlangsung, diyakini Joachim Loew gunakan formasi 1-4-3-3.
Untuk memudahkan analisa, penulisan formasi di buku catatan juga harus gambarkan adu head to head pemain pada posisinya. Ilustrasi gambar di bawah kiri adalah cara penulisan formasi yang keliru. Sedang, gambar di bawah kanan adalah model penulisan yang benar, karena mencerminkan adu posisi antar tiap pemain Brasil (Biru) dengan Jerman (Merah). Sebaiknya hindari penulisan nama pemain. Selain memakan waktu saat mencatat, nama punggung pemain biasa terlalu kecil untuk bisa dilihat di layar kaca.
a (6)
Cara penulisan ini menjadi krusial terkait langkah kedua dalam analisa. Yaitu melihat apa yang disebut “Natural Overload”. Istilah natural overload ini mengacu pada menang jumlah orang di suatu sector secara alami sebagai konsekuensi formasi yang dimainkan. Pada kasus Brasil dengan 1-4-2-3-1 vs Jerman 1-4-3-3, natural overload terjadi di lini belakang. Dimana kedua tim memiliki 4 bek kontra 3 penyerang lawan. Situasi 4v3 di pertahanan Brasil dan Jerman tentu memudahkan kedua tim untuk lakukan build up from the back.
Adu jumlah pemain di sector lain lebih sengit. Praktis di sector lain, kedua tim tidak menang jumlah. Di sector tengah terjadi 3v3, karena kedua tim sama-sama gunakan 3 gelandang. Bahkan jika gelandang dibagi jadi lini gelandang bertahan dan gelandang serang, tetap di kedua lini tersebut terjadi jumlah sama. Terjadi peperangan 1v1, antara 7 Jerman v 11 Brasil.Lalu 2v2 18 dan 6 Jerman kontra 5 dan 17 Brasil.Hal sama di pinggir karena kedua tim miliki 2 orang yang beroperasi di sana ciptakan situasi 2v2.
Pada analisa natural overload juga akan tergambar titik lemah alami akibat konsekuensi formasi tersebut. Yakni di suatu sector terjadi kalah jumlah. Misal baik Jerman dan Brasil harus bekerja ekstra dalam lakukan pressing di depan. Sebab mereka hanya punya 3 penyerang alias kalah jumlah saat ingin mempressing 4 bek lawan yang coba bangun serangan. Pada momen attack, kedua tim juga alami kalah jumlah di depan. Striker 9 Brasil dan 11 Jerman harus jibaku dengan dua centerback lawan alias 1v2.
a (7)

4 Momen Sepakbola
Tentu saja natural overload hanya menjadi informasi awal.Sebab formasi tidaklah statis, melainkan dinamis dengan pemain terus bergerak. Jika kedua tim terpaku pada formasi dasar, jelas kedua tim akan kesulitan cetak gol. Pada pertandingan level tinggi yang melibatkan pemain papan atas, sulit pemain bisa memenangkan duel 1v1. Sehingga semua pelatih berusaha menciptakan jumlah orang lebih di suatu sector yang terdapat bola.Ini berlaku saat menyerang, maupun bertahan.
Nah sepakbola terdiri dari 4 momen utama.Yaitu bertahan, transisi (positif-negatif) dan menyerang.Langkah ketiga adalah melihat style kedua tim bertahan, transisi dan menyerang. Kenali dulu style umum dalam bertahan, transisi dan menyerang.  Di bawah ini beberapa style umum saat tim bertahan, transisi dan menyerang.
BERTAHANLow Defensive LineHigh Defensive Line
TRANSISI POSITIFQuick Counter AttackRebuild up
MENYERANGConstructive PlayDirect Play
TRANSISI NEGATIFImmediate PressingFallback
Low defensive line berarti menunggu agak di bawah dengan garis pertahanan rendah.Sering dilakukan Mourinho saat kontra klub besar. High defensive line adalah sebaliknya, bertahan mulai jauh di depan. Untuk transisi positif, quick counter attack adalah langsung serang balik cepat setelah rebut bola. Sebaliknya, rebuild up adalah berusaha membangun kembali serangan dengan passing-passing untuk menjaga tempo.
Saat menyerang, constructive play berarti membangun serangan secara perlahan, merangkak pelan ke depan lewat passing pendek dari kaki ke kaki. FC Barcelona adalah contoh terbaik untuk style ini.Sebaliknya Direct Play adalah permainan langsung ke depan lewat passing panjang. Ini gaya Stoke City jaman Tony Pulis. Bisa dari GK ataupun dari pemain bawah.Pada momen transisi negative, immediate pressing adalah langsung press seketika setelah hilang bola.Sedang fallback, adalah turun kembali reorganisasi pertahanan di wilayah sendiri.

Overload Konsekuensi Taktik
Setelah dapatkan referensi tentang apa style bermain kedua tim, langkah keempat adalah mengupas bagaimana kedua tim memainkan style tersebut. Kupasan ini bisa dipecah secara terstruktur dengan membagi momen bertahan dan menyerang jadi 3 fase.Pada momen menyerang (1) fase membangun serangan dari bawah (build up from the back), (2) fase membangun serangan di tengah (midfield play) dan (3) fase mencetak gol (final entry for goalscoring). Momen bertahan merupakan kebalikannya: (1) fase pressing build up lawan, (2) fase pressing midfield lawan dan (3) cegah lawan cetak gol (prevent goalscoring).
Dalam menganalisa momen dan fase di atas, ada baiknya untuk kembali menggunakan formasi dan natural overload tadi sebagai referensi awal. Contoh Jerman melakukan build up from the back amat baik. Mereka sukses memanfaatkan natural overload 4v3, bahkan 5v3 karena kiper Jerman aktif bergabung dalam membangun serangan. Praktis, Brasil gagal atasi masalah natural overload kalah jumlah saat pressing di depan.
Sebaliknya Brasil gagal total memanfaatkan natural overload di bawah. Situasi natural 4v3 tidak membuat Brasil sukses lakukan build up from the back. Keunggulan 2v1 antara centerback no 13 dan 4 Brasil vs 11 Jerman membuat salah satu centerback leluasa untuk bisa drive ke depan dengan dribbling. Hanya saja keberadaan dua pivot No 17 dan 5 justru memblok jalur dribble dan passing kedua centerback Brasil. No 18 dan 6 Jerman begitu nyaman, karena mereka bisa memarking dua lawan sekaligus. Bahkan berkali-kali Jerman bisa gagalkan build up Brasil dan cetak gol.
Pemain 18 & 6 Jerman dapat sekaligus jaga 2 orang!
Pemain 18 & 6 Jerman dapat sekaligus jaga 2 orang!

Pemain 18 & 6 Jerman dapat sekaligus jaga 2 orang!
Alih-alih mendorong salah satu dari dua pivot Brasil naik untuk buka ruang bagi centerback drive dengan passing atau dribbling, Brasil memilih solusi permainan direct ke 7 dan 9. Tentu bukan pilihan solusi yang akurat, mengingat secara natural Brasil kalah jumlah di depan, plus kedua pivotnya terlalu jauh di belakang. Artinya Brasil begitu terpaku dengan formasi dasar sehingga situasi kalah jumlah secara natural benar-benar terjadi.Tidak ada usaha pergerakan yang dibuat untuk samakan atau lebihi jumlah.
a
Bagaimana dengan midfield play? Secara natural terjadi situasi 3v3 yang diperkirakan akan terjadi pertarungan sengit. Sayangnya hal tersebut tak terjadi.Solusi Joachim Loew dengan cerdik meminta sayap no. 13 dan 8 Jerman masuk ke tengah untuk ciptakan 5v3.Terkadang centerback no.20 Jerman juga naik untuk menjadi extra midfield.Inilah yang disebut overload akibat konsekuensi taktik. Dimana tim mencari solusi atas kekurangan jumlah atau jumlah sama di suatu sector dengan meminta pemain dari sector lain untuk bergabung ciptakan jumlah orang lebih.
Menonton sepakbola dengan kacamata taktik memang memusingkan pada awalnya.Namun, 4 langkah untuk mencatat formasi, melihat natural overload, mengenali playing style dan menangkap tactical consequence overload akan membuat aktivitas nonton bola makin mengasyikkan. Sensasi yang ditimbulkan jauh lebih asyik ketimbang menjadi penonton dengan kacamata fans. Selamat mencoba dan rasakan sensasinya!

Sumber: www.dribble9.com/belajar-menikmati-sepakbola-dari-kacamata-taktik